Arunika termenung memandangi laptop yang berkedip di depannya. Menghela napas. Mengetikkan pesan balasan. Menghela napas lagi. Mematikan laptop.

Sebuah keputusan berat tahun ini ia akan resign dari pekerjaan yang sudah ia geluti selama 25 tahun. Menjadi seorang guru di yayasan pendidikan swasta nan elite di ibu kota provinsi ini. Bukan yayasan elite itu yang sedang memberatkan hatinya. Melainkan proses penerimaan hak uang pisah selama dua bulan belakangan yang kerap membebani kepalanya.

Betapa jelek tabiatnya yang satu ini, meski terlihat seperti sosok malaikat. Yaitu selalu memperjuangkan hak orang lain, hingga lupa caranya memperjuangkan hak sendiri.

Gemetar jari Arunika menyentuh bingkai foto di samping laptop. Bola mata hitam dan bulat dua orang di sana benar-benar sama persis. Arunika dan Rindu, anaknya.

Kling!

Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Arunika melirik pelan. Namun, matanya tidak dapat menangkap pesan itu. Cahaya yang masuk lewat jendela dan tingkat kecerahan layar ponsel membuat Arunika sulit membaca pesan di layar kunci.

Arunika meraih ponsel itu. Lalu berjalan menuju dapur. Ia hendak mengambil kopi ginseng kesukaannya. Baru ketika langkahnya keluar dari kamar yang terang benderang dan ibu jarinya siap mengetuk pesan tersebut. Pesan itu hilang. Pesan ini telah dihapus.

Tidak penting. Hanya pesan dari Lastri, rekan kerjanya yang biasa membeli dagangannya dan beberapa bulan terakhir ikut donasi untuk lembaga sosial berbentuk rumah tahfiz yang ia kelola.

****

“Gimana kabar uang pesangon kakak?”

“Bukan pesangon, Fri. Kata anakku itu uang pisah,” Arunika tersenyum lebar sambil mengeluarkan beberapa obat herbal dari tasnya.

“Pintar betul anak kakak. Soal pesangon saja dia tahu,” Afri, sahabat karib Arunika menerima obat herbal itu. Mereka memang sedang melakukan transaksi perdagangan.

“Hahaha.” Arunika tertawa. Masih dengan senyum manisnya. “Bukan anak kandungku, Fri. Anak angkatku. Hamdan namanya. Dia sedang magang di sebuah lembaga hukum di bawah naungan DPR RI Komisi III,” Arunika menjelaskan. Afri hanya ber-ooh. Entah paham atau tidak.

“Aku juga mau resign ah, Kak,”

“Eh?” Arunika mendelik heran. “Jangan ikut-ikutan kau!! Hahaha,”

“Ah. Bolehlah. Aku mau bisnis saja seperti kakak,” wajah Afri tampak serius. “Tapi nanti. Aku mau lihat proses uang pisah kakak dulu. Aku gak mau nanti malah jadi kayak karyawan-karyawan lain yang jumlah uang pisahnya gak masuk akal. Dua juta, lima juta. Padahal sudah puluhan tahun kerja di yayasan sebesar ini,” mulut Afri manyun sekian senti setelah kalimatnya habis.

Arunika masih tersenyum. Kali ini lebih lebar. Hatinya gelisah membahas perihal hak uang pisah. Sebenarnya, sungguh tidak apa menerima nominal berapapun. Namun, ia terlanjur membawa Hamdan dalam urusan resign ini. Anak itu keras kepala betul meminta Arunika memperjuangkan hak yang seharusnya ia terima sebagai karyawan yang resign. Begitupun Rindu. Gadis kecilnya yang kini beranjak kepala dua dan tengah merantau ke ibu kota. Sama tegasnya.

Afri melambaikan tangan keluar ruangan. Arunika sendiri masih punya satu transaksi lagi di ruang bendahara. Dengan membawa kantong plastik berisi madu hutan dan minyak zaitun, Arunika berjalan menuju jendela pembayaran SPP.

“Halo, Kak Diah,” sapa Arunika. Yang disapa sedang menyusun tumpukan kuitansi di mejanya.

“Eh, halo Arunika,” Kak Diah tampak sumringah melihat Arunika, sosok bidadari cantik di hadapannya. Begitulah mata Kak Diah memandangnya. “Kopiku ada, kan?”

“Eh? Sejak kapan pula kakak pesan kopi? Aku cuman bawa madu dan minyak zaitun yang dua hari lalu kakak pesan,”

“Hahaha. Aku bercanda. Aku memang tidak pesan kopi. Tapi, aku mau pesan kopi. Kapan bisa kau antar?”

“Kamis lah, Kak,” Arunika memasang wajah memelas. “Besok dan lusa, jadwalku mengajar di rumah tahfiz,”

“Ah, iya. Gak apa. Satu bungkus, ya,” Kak Diah mengeluarkan dompet dari dalam tas. “Eh iya. Kau sudah terima pesangon, kan?” Arunika menggeleng. Lagi-lagi dengan senyum lebar. “Padahal kemarin kulihat, Lastri sudah menuliskan kuitansinya,”

Alis kanan Arunika terangkat. “Berapa, Kak?”

“Lima juta,”

Arunika menelan ludah.

Urusan ini rumit sekali. Keesokan malamnya, Arunika menerima pesan dari Kak Diah. Pesan itu bukan berisi peringatan pesanan kopi. Melainkan sebuah foto kuitansi. Arunika menekan gambar yang dikirim agar bisa melihatnya lebih jelas. Nama dan nominal.

****

“Kita harus melakukan mediasi, Bu,” Hamdan menegakkan duduknya.

Arunika jelas mendengarkan Hamdan. Namun, tatapannya kosong menatap langit penuh bintang di hadapannya. Ia menghela napas panjang. Tidak menggubris ucapan Hamdan.

“Apa yang memberatkan ibu?” tanya Hamdan. Merasakan kejanggalan dalam helaan napas Arunika.

“Ibu tidak terbiasa menuntut hak ibu seperti ini, Dan,” Arunika menatap mata Hamdan. Yang ditatap bisa merasakan ganjalan yang lebih berat lagi lewat mata itu hingga ia ikut menghela napas.

“Kalau ibu tidak berani menuntut hak ibu, besok lusa, kawan-kawan ibu yang juga ingin resign seperti Bu Afri tidak akan berani menyuarakan haknya. Dan, ya…, selamanya yayasan itu akan berperilaku semena-mena pada karyawannya,” ucap Hamdan.

Arunika kembali menatap langit gelap di depannya. Lagi-lagi menghela napas panjang. Setelah lima menit keheningan mengisi pertemuan itu. Arunika tersenyum tipis.

“Terima kasih, Dan,.”

“Kewajiban anak, Bu. Membela ibunya,” jawab Hamdan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jarang sekali ia salah tingkah begini.

“Terima kasih sudah membuat ibu punya alasan kenapa harus berjuang menuntut hak ibu pada yayasan,”

Ungkapan Arunika barusan, juga diketik dalam chat pada Rindu. Arunika mengetik itu dengan senyum tipis. Cepat sekali Rindu membaca pesan itu. Namun, hampir lima belas menit layar menunjukkan keterangan anak itu sedang online dan telah membaca pesan darinya, barulah Arunika menerima pesan balasan.

“Mak. Bisakah kali ini mamak benar-benar memikirkan diri sendiri? Jangan menjadikan ‘demi kenyamanan resign orang-orang setelah mamak’ sebagai alasan mamak berani menuntut hak mamak hari ini. Kakak mau mamak sekali saja pikirkan diri mamak. Hari ini mamak berjuang untuk diri mamak. Bukan untuk orang lain,”

Pesan panjang itu dibaca Arunika dengan mata berair. Sudah hampir lima kali Arunika membaca ulang pesan itu. Arunika bisa merasakan tatapan dan suara tegas penuh wibawa milik Rindu.

Sesuai kesepakatan malam itu, Arunika dan Hamdan bertemu di yayasan hari ini. Senin pagi. Berniat hendak menemui kepala yayasan, melakukan mediasi mengenai hak uang pisah. Namun, kepala yayasan hanya sebuah nama dalam yayasan ini. Jabatan itu tidak benar-benar ada. Lihatlah. Sosok wanita berkacamata yang kini menjadi punggung kepala yayasan. Duduk menyambut kehadiran Arunika dan Hamdan di ruang sekretaris yayasan. Kalau kalian jago menebak, harusnya kalian tahu siapa kepala yayasan sesungguhnya di sini.

Mediasi dimulai.

Tidak ada ketegangan di sini. Nada bicara Arunika yang tegas dan lembut, penuh haha-hihi. Hamdan yang to the point. Dan Bu Mila, sekretaris yayasan yang bicaranya penuh dengan pengalihan.

“Saya sudah dua puluh lima tahun loh, Bu, mengajar di sini,” ucap Arunika.

“Saya sudah tiga puluh dua tahun, Bu,” jawab Bu Mila. Membuat alis kanan Hamdan terangkat. “Tapi beginilah, Bu. Di sini, kita semua ini keluarga,” kini matanya menatap Hamdan. “Betul, Dan. Saya sudah menganggap Arunika ini seperti adik saya sendiri,”

Alis kanan Hamdan yang baru beberapa detik lalu kembali ke posisi semula, kini kembali terangkat.

“Lagian setahu saya, hanya karyawan yang dipecat saja yang berhak menerima pesangon. Yang resign kan tidak. Sudah baik kami memberi Arunika sepuluh juta,” ucap Bu Mila lagi. Ya. Nominal dalam kuitansi yang dikirimkan Kak Diah malam itu bertambah menjadi sepuluh juta.

“Oh, maaf, Bu. Ibu salah mengenai itu,” Hamdan menegakkan punggungnya. “Dalam Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2021, pasal 50, telah diterangkan bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat, berhak atas uang penggantian hak atau uang pisah,” jelas Hamdan. Bu Mila hanya manggut-manggut. Juga Arunika. “Salah satunya,” kalimat Hamdan menggantung di tenggorokan. Ia melirik Arunika di sampingnya. “BPJS ketenagakerjaan. Ada kan, Bu?”

Bu Mila mengangkat kepala. Menggeleng.

“Oh, tidak ada itu. Itu urusan masing-masing. Yayasan tidak ada mengurus begituan,”

“Sayang sekali, Bu. Padahal yayasan wajib mengurus itu untuk semua karyawannya,” Hamdan menekan kata wajib dalam kalimatnya. Lagi-lagi Bu Mila hanya manggut-manggut.

Mediasi itu berujung tumpul. Tidak membuahkan hasil apa-apa. Hamdan yang dengan tegas berulang kali menekankan kewajiban-kewajiban yayasan dan hak-hak karyawan, hanya digubris candaan dan omong kosong oleh Bu Mila.

“Kalau tadi ibu gak ada di situ, keluar ruangan, Hamdan sudah nerima amplop tuh, Bu,” Hamdan mengekeh di sela kalimatnya. “Tebal tuh amplopnya, Bu,”

“Hahaha. Terserah kaulah, Dan,” Arunika ikut mengekeh.

****

Demi memastikan proses ini berjalan dengan baik dan benar, Hamdan memutuskan membawa Arunika menemui seseorang yang ia kenal. Beliau bekerja di dinas tenaga kerja kota itu.

“Pak Togar sedang keluar,” ujar wanita berambut pendek di kantor mediasi. “Memangnya ada perlu apa?” tanyanya.

Hamdan mulai menjelaskan maksud kedatangannya. Wanita itu, yang memperkenalkan diri sebagai Bu Ros, mengajak mereka masuk ke ruang rapat mediasi.

Ruangan itu tidak terlalu besar. Jika kalian melihat jumlah kursi dan bentuk mejanya, kalian akan mengerti istilah mediasi sesungguhnya. Sebuah meja berbentuk oval yang terputus di salah satu ujungnya. Satu-satunya kursi berwarna biru yang cukup besar di sudut oval yang tidak terputus, dan sepuluh bangku cokelat di sisi kanan dan sisi kiri dengan jarak hadap tidak terlalu lebar.

Namun kali ini, Bu Ros memilih sembarang kursi untuk duduk. Begitupun Hamdan akhirnya memilih kursi di hadapan Bu Ros, dan Arunika tepat di sampingnya.

“Jadi, masalahnya di mana?”

“Kami mau menanyakan tentang hak uang pisah bagi karyawan yang PHK,” jawab Hamdan sambil membuka buku catatan kecilnya. “Terkait metode perhitungannya,”

“Berapa lama sudah menjadi karyawan?”

“Dua puluh lima tahun, Bu,” jawab Arunika.

“Berapa gaji ibu per bulannya?”

“Gaji saya dihitung per masuk kelas, Bu. Lima puluh enam ribu. Dalam satu bulan, saya masuk ke empat kelas sebanyak lima kali untuk masing-masing kelas. Ditambah tunjangan masa jabatan sebanyak lima kali masuk kelas. Totalnya sekitar satu juta empat ratus ribu per bulan,”

Mata Hamdan membulat mendengar Arunika menghitung. Gaji itu terlalu mini untuk seorang guru bidang studi sekolah menengah atas. Bahkan yayasan elite dan populer di ibu kota provinsi.

“Ibu dipecat dengan alasan?”

“Saya mengundurkan diri, Bu,”

“Wah, sayang sekali. Harusnya jangan mengundurkan diri, Bu. Harusnya tunggu dipecat saja. Kalau dipecat, langsung cair itu,” ujar Bu Ros.

“Izin, Bu,” Hamdan mengangkat tangan kanannya. “Bukankah undang-undang ketenagakerjaan yang baru direvisi pada tahun 2021 yang kita kenal dengan UU Cipta Lapangan Kerja menerangkan dengan jelas bahwa karyawan yang mengundurkan diri juga berhak menerima uang pisah dari perusahaan?”

Arunika menarik napas. Urusan ini semakin rumit baginya. Namun, tidak bagi Hamdan. Ia melirik Arunika pelan. Tersenyum kecil. Tenang, Bu. Begitulah maksud tatapannya.

“Tapi, sulitlah kalau mengundurkan diri,” jawab Bu Ros sambil memperbaiki letak masker di wajahnya.

“Sulit bagaimana, Bu? Bagaimana perhitungan seharusnya? Kalaupun rumit, apa saja hak yang diperoleh oleh karyawan yang mengundurkan diri, Bu?” Arunika menghujani Bu Ros dengan pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya.

“Bapak dan ibu bisa cek terkait aturan yang berlaku. Tertulis di Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2021. Cek di Google, Bu,” jelas Bu Ros. Arunika dan Hamdan saling menatap.

Perbincangan terus berlanjut. Berakhir tiga puluh menit setelahnya. Tidak membuahkan hasil. Bu Ros hanya menyarankan pihak Arunika dan yayasan melakukan mediasi di kantor itu. Yang nantinya akan ditengahi oleh petugas mediasi. Entahlah Bu Ros sendiri atau mediator lainnya.

Hamdan mendapati Pak Togar tengah menerima tamu di mejanya. Jika urusan ini dibincangkan dengan orang yang tepat, maka selesailah pertanyaan-pertanyaan dalam kepala Arunika.

Hujan turun deras. Angin kencang menerpa pepohonan di depan jendela kamar Arunika. Hari ini tidak ada kabar dari Rindu. Arunika juga sedang enggan berbagi perasaannya.

Kling!

“Gimana hari ini, Mak?”

Arunika mengetik…

“Alhamdulillah. Lancar, Kak,”

Ponsel itu ditaruh di atas meja. Suara hati Arunika beradu dengan suara hujan. Lihatlah, ia harus melawan rasa tidak nyaman yang dipertanyakan oleh orang lain. Sungguh langka perasaan milik Arunika. Perasaan yang membara dan berapi-api ketika harus membantu dan memperjuangkan orang lain, tapi tidak untuk dirinya sendiri.

Tidak ada balasan dari Rindu.

Arunika meraih ponsel di atas meja. Merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengetik sejumlah kata. Mengunjungi sebuah situs yang menjelaskan detail Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 yang disebutkan oleh Bu Ros tadi. Teringat pula ungkapan kekecewaan Hamdan “Kalau tahu dapat jawaban seperti ini, lebih baik dari awal Google saja jadi kiblat kita, Bu. Repot betul datang ke kantor dinas hanya untuk diminta cari referensi di Google,”

Mata Arunika menangkap halaman kedua dari penjelasan terkait peraturan pemerintah tersebut. Ada hal yang terlewat. Ia buru-buru bangkit dari posisinya. Membuka laci meja kerja. Menyisiri satu per satu kertas yang tersusun di sana. Tidak ada. Matanya menuju tumpukan buku di atas meja. Kembali membongkarnya. Membuka satu per satu buku. Berharap yang ia cari terselip di salah satu buku yang ia baca.

Tidak ada juga.

Arunika mengetik…

“Mamak ada kirim file surat pengunduran diri waktu itu?”

Langsung dibaca. Sebuah file juga langsung diterimanya.

“Dua juli dua ribu dua puluh dua,” perlahan dibacanya tanggal di pojok kanan atas. “Terhitung sejak sebelas juli dua ribu dua puluh dua,” kali ini tanggal di paragraf kedua isi surat. Arunika meletakkan ponselnya. Mengangkat kedua tangannya. Mulai menghitung dengan jari. “Sembilan hari,”

****

“BPJS ketenagakerjaan masih bisa diperjuangkan, Bu,” ucap Hamdan setelah menerima laporan Arunika. Arunika mengangguk. Tersenyum lebar. “Mereka harus bertanggung jawab terkait BPJS yang tidak didaftarkan. Itu hak ibu,” lanjut Hamdan.

“Hak semua karyawan, Dan,” Arunika mengangguk lagi. Tersenyum lebar lagi.

Ada hal yang terlewat oleh Arunika sejak awal ia mengundurkan diri. Surat pengunduran diri yang diajukannya ke yayasan kurang dari tiga puluh hari sebelum penonaktifan tugasnya. Itu merupakan syarat dan ketentuan penerimaan hak uang pisah nomor satu. Meskipun ia memenuhi syarat nomor dua dan tiga, haknya tetap gugur. Arunika tidak tahu. Sungguh di luar pengetahuannya.

Sebenarnya Rindu pernah mengingatkan perihal itu. Hanya saja Arunika tidak menyadarinya. Saat itu tekadnya sudah bulat. Tidak boleh ditunda. Semangat membara di dadanya untuk menjemput dunia baru. Dapur, anak-anak kecil di rumah tahfiz, bisnis fotokopi dan herbal, dan seluruh rangkaian visi misi pendidikan yang ia junjung tinggi dan akan segera dicapainya.

Yayasan juga membalas surat tersebut dua hari setelah menerima surat dari Arunika. Menyetujui seluruh isinya. Maka semua berjalan begitu lancar. Saat itu. Bukan hari ini.

****

“Mamak tidak ingin uang. Mamak ingin hak mamak. Mamak tidak ingin menerima sepuluh juta itu, jika itu bukan hak mamak. Yang mamak pertanyakan prosedur perhitungan. Yang mamak cari tahu apa saja hak yang seharusnya diterima para karyawan. Yang semestinya yayasan itu berikan. Bukan cuman untuk mamak. Tapi, untuk karyawan-karyawan yang nantinya mungkin juga hendak mengundurkan diri. Mamak tidak akan membiarkan sistem amburadul mereka merenggut hak kawan-kawan mamak. Biar ini jadi pelajaran untuk mamak. Bu Afri harus tahu, Kak. Siapapun harus tahu,”

Arunika selesai mengetik.

By Ridha Noor Amalia

Halo! Semoga kamu suka tulisan saya. Jangan lupa share, ya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!