Namaku Ranum.
Sebelum aku mulai menceritakan kisah penting dalam hidupku ini, aku ingin meminta maaf.
Maaf jika ibu membaca cerita ini, dan membuat seluruh penyesalan yang pernah ada di hidup ibu kembali datang, seluruh luka yang telah susah payah ibu timbun kembali koyak, atau memori tentang bayi kecil ibu (entah siapa namanya) memporak porandakan pikiranmu.
Maaf, bu.
****
“Ibu hampir gila, Ranum!”
Kraakk!! Kursi yang tadinya hanya dipegang oleh ibu, didorong kasar ke arah lantai. Potongan badannya berserakan. Kursi tua itu hancur. Kursi milik mendiang ayah, hadiah dari mendiang kakek. Aku memeluk Teduh, adikku di pojok ruang tengah, di belakang sofa yang masih tersusun rapi membentuk siku-siku. Teduh terus menangis. Meski tangisannya tertahan oleh usapan tanganku di bahunya. “Jangan bersuara,” begitulah maksud usapanku.
Aku sungguh tidak mengerti apa yang terjadi pada ibu. Saat itu usiaku lima belas tahun, Teduh delapan tahun. Ibu sangat menyayangi kami. Memasakkan makanan kesukaanku setiap Jum’at sore, kwetiau goreng tanpa sayur. Juga memasakkan makanan kesukaan Teduh setiap minggu pagi, roti bakar teflon rasa cokelat.
Tapi hampir enam bulan ini, kwetiau goreng atau roti bakar teflon itu tidak ada di atas meja ketika jadwalnya tiba. Ibu mendadak membisu selepas kedatangan banyak orang berbaju hitam kala itu berkumpul di rumahku. Aku sedikit mengerti. Ayah telah pergi dan mungkin saja, ibu patah hati. Hingga sedikitpun tidak mengajak kami bicara sampai hari ini. Lalu setiap senja datang, ibu mendadak marah.
Awalnya, kemarahan ibu masih dapat kukenali.
Menghentakkan kaki kala berjalan, “Oh mungkin ibu kesal,” atau sedikit membanting sayur yang hendak dipotong, “Oh, mungkin ibu lelah,”
Tiga bulan berikutnya, aku sungguh tidak mengenal ibu lagi.
Setiap pulang sekolah, aku dan Teduh mengendap-endap masuk ke dalam rumah lewat pintu depan. Tidak ada pintu masuk lain di rumah ini. Hanya itu satu-satunya jalan. Tapi setiap hari pula, ibu akan berkacak pinggang di dalam rumah, tepat ketika kami berhasil masuk. Sebuah ikat pinggang berbahan kulit menjuntai ke bawah. Kepala ikat pinggang itu, digenggam erat-erat oleh ibu.
Lagi-lagi aku tidak mengerti mengapa setiap hari hal itu harus terjadi padaku?
Ya. Hanya padaku. Ibu sangat menyayangi Teduh. Semua orang juga tahu. Bahkan ketika kami hampir tidak mengenali ibu, ibu tetap mengenal Teduh. Meski tidak ada lagi makanan favoritnya setiap minggu pagi, ia tetap sangat beruntung karena fisiknya tidak pernah tersentuh sedikitpun oleh kemarahan ibu.
“Jangan menangis, Kak!” bisik Teduh. Berusaha bergantian menghibur. Aku tidak menangis. Aku hanya membenci peristiwa ini. Aku menggertak gigiku. Melirik Teduh di sampingku dengan bola mata bulat dan hitam cantiknya.
“Aku juga hampir gila karena ibu!” teriakku dengan berani. Keluar dari sofa tempatku dan Teduh tadi berlindung. “Kenapa terus memukuliku?! Kenapa terus memarahiku?! Kenapa bukan Teduuh?” teriakku sambil menarik lengan Teduh dengan kasar, keluar dari sudut itu.
Teduh menggigit bibirnya. Matanya menatapku, meminta belas kasih. “Jangan, Kak. Jangan,” bisiknya. Air mata yang tadinya hampir mereda karena berusaha menghiburku, kini membanjiri pipinya.
****
Peristiwa di atas terjadi pada Februari, 12 tahun silam.
Sekarang usiaku menginjak 27 tahun. Bulan lalu aku baru saja ulang tahun. Kuhancurkan momen indah hari ulang tahunku dengan menolak lamaran sahabatku sendiri, Adam. Ini bukan kali pertama aku diajak menikah oleh seorang lelaki. Ini adalah kali ketiga.
Kalian seharusnya tahu mengapa aku selalu menolak ajakan menikah. Bahkan untuk berpacaran pun, aku tidak ingin. Kehidupanku berjalan monoton, kata orang. Bekerja, membeli barang mewah, pergi liburan, lalu kembali bekerja. Hingga siklus itu berputar. Sementara teman-teman seusiaku sudah pamer bayi-bayi mungil mereka.
“Aku tidak akan pernah siap,” ucapku pada Teduh. Kami sedang mengobrol di depan pintu kantorku. Anak itu, tiba-tiba saja sudah berdiri di sana dengan pakaian kasual khas seorang mahasiswa.
“Tadi dia mendatangiku, Kak. Dia bilang,”
“Bisakah kau diam?” bisikku. Mataku memelototi bola mata bulat dan hitam cantik itu. “Bukankah sudah cukup nikmat hidup yang kuberikan, Teduh?” tanyaku dengan gigi yang bergemelutuk. Teduh menelan ludah. “Selesaikan saja kuliah psikologimu itu, Teduh. Kau akan sukses dan bahagia.” sambungku. Meneruskan langkah kaki menuju mobil.
“Maafkan aku, Kak..”
Langkahku terhenti.
“Harusnya aku juga mengalami penderitaan itu, Kak. Harusnya aku juga dipukuli ibu. Harusnya aku juga dimaki oleh ibu. Maafkan aku..”
“Kenangan itu sudah kukubur dalam-dalam, Teduh. Sakitnya sudah hilang dari tubuhku. Kau tidak akan mengerti level sakit apa lagi yang kurasakan hari ini. Kau tidak pernah merasakannya,” ucapku pelan. Menahan air mata yang sebentar lagi akan menghancurkan make up mahal yang kupakai.
“Aku tidak merasakannya. Memang. Tapi aku tahu apa yang kakak rasakan,” tegas Teduh. Berjalan mendekat. Tumpukan buku yang digendongnya hampir mengenai bahu kananku.
“Apa?” tanyaku dengan nada menantang. Tahu apa bocah ingusan ini soal perasaanku?
“Aku bukan bocah ingusan lagi, Kak. Aku calon psikolog. Aku belajar di universitas terbaik di kota ini. Aku mahasiswi,”
“Oh, ternyata benar rumor kalau anak psikologi bisa membaca pikiran itu, ya?” tanyaku lagi-lagi dengan nada menantang.
“Kakak harus..” Teduh tidak melanjutkan kalimatnya. Menelan ludah. Aku menaikkan alis kananku. Menunggu lanjutan kalimatnya. “Kakak harus memaafkan ibu. Berdamai dengan keadaan,”
Air mata mengalir dari pipi tembam Teduh. Aku tahu dia menahan rasa takut sedari tadi menyampaikan usulannya. Usulan seorang mahasiswi psikologi. Meski aku amat membenci ketidakadilan yang terjadi di antara kami, aku tetap menyayangi Teduh. Aku bisa merasakan guncangan hebat dalam hatinya kala mengucapkan itu.
“Bagaimana caranya?” kalian pikir aku sungguh bertanya? Tentu tidak. Aku tahu berdamai pun tidak akan membuat memori lecutan itu hilang dari seluruh tubuhku. Aku menghargai Teduh.
“Kata perawat, ibu mulai berteriak memanggil sebuah nama. Meminta maaf. Ayo kita datangi ibu, Kak! Aku yakin ibu menyebut nama kakak. Meminta maaf. Menyesal,”
“Ibu sakit jiwa, Teduh. Kau tahu itu,” aku menghela napas. Syukurlah, air mataku tidak jadi tumpah.
“Tapi perkembangan ini sungguh emas, Kak. Bertahun-tahun ibu dalam tempat itu, dan tidak mengingat kita, lalu tiba-tiba berteriak setiap hari, menyebut sebuah nama, meminta maaf,” Teduh mengatakannya penuh semangat.
Aku menghela napas panjang. Menatap langit yang semakin gelap.
****
“Maafkan ibu,” suara parau itu mencekik leherku. Pintu putih belum dibuka. Aku menahan gerakan tangan perawat yang hendak membukanya.
“Maafkan ibu, Nak,” meringkih di kalimat akhir.
“Ibu menyesal. Maafkan ibu,” suara itu tertahan. Lima detik hening. Tarikan napas panjang terdengar.
Ibu menangis. Aku menggigit bibir. Menyuruh perawat itu untuk mundur. Biar aku yang membukakan pintu. Aku ingin memeluk ibu setelah pintu itu terbuka.
“Maafkan ibu, Teduh,” desahnya di sela tangis yang terdengar menghantam dada.
Gerakan tanganku tertahan. Aku meremas ujung kemejaku seraya mengeraskan gigitan di bibirku hingga berdarah. Berbalik badan dan pergi.
****
Berdamai dengan masa lalu, sungguh tidak mudah. Sini maju! Siapa yang bicara kalau ini mudah!
Bukan karena aku tidak punya Tuhan. Meski Tuhan begitu tega memporakporandakan keluargaku bahkan kehidupanku, aku tetap mencintaiNya. Walaupun, entah ini menjadi masalah atau tidak, doaku selalu tentang menyalahkanNya.
Perasaan yang semula hanya menepuk-nepuk dadaku dengan sarung tinju, kini berubah seperti dengan bata beton. Sakit sekali. Aku memeluk diriku sendiri. Meringkuk di bawah ranjang. Aneh sekali rasanya. Sudah bertahun-tahun hal ini tidak kulakukan.
Tok! Tok!
Tok! Tok!
Tok! Tok!
“Aku masuk! Kau boleh melemparku kalau kau mau, Ranum!” teriak seseorang yang sudah tiga kali mengetuk pintu kamarku.
Bam!
Pintu itu ditendang. Kuncinya rusak. Bertambah sedikit penyesalanku karena tidak menjawab ketukan itu. Adam. Sahabat lelaki yang melamarku tepat sebulan yang lalu. Masuk dengan cara yang tidak sopan ke kamarku. Merusak fasilitas rumahku. Merugikanku.
Tapi enyahlah soal kerusakan itu. Dia tidak akan menemukanku di bawah sini. Perasaan ini kini jauh lebih penting dari pada apapun. Gemetar tanganku memeluk tubuhku sendiri. Dingin. Gigiku bergemeletuk tidak berhenti, meski kupaksa menghentikannya. Jariku semakin kuat mencengkram pinggang. Sakit.
“Kau di mana, Ranum?”
Suara merdu Adam menyelinap ke bawah ranjang. Masuk ke telingaku. Aku masih menggigil dengan air mata dan keringat yang menghujani tubuhku sendiri. Kulihat kaki Adam melangkah menjauh dari ranjang. Bersamaan dengan itu, sepasang kaki dibalut kaus kaki berwarna pink juga ikut masuk. Pastilah itu Teduh, menemani Adam untuk memeriksa keadaanku yang sudah tiga hari tidak keluar dari kamar.
“Ah, kau pasti sedang menangis, dan tidak ingin wajah tanpa make up dan sembab itu kulihat. Kau takut jadi tidak cantik di hadapanku, bukan?” teriak Adam.
Sreettt. Adam menarik sebuah kursi. Kuyakin kursi belajarku tepat tiga ratus enam puluh derajat di hadapanku. Ia duduk. Mengangkat kaki kanannya. Meletakkan kaki itu ke atas paha kirinya.
“Di manapun kau, Ranum. Aku ingin kau mendengar ceritaku,”
****
“Namanya Teduh, Dok. Saya menamainya karena matanya teduh sekali,” bisik wanita tua berusia hampir enam puluh tahun itu.
“Oh, ya?”
“Besok-besok kalau dokter bertemu dengannya, dokter pasti akan jatuh cinta,” demi mendengar kalimat itu, Adam tertawa lebar.
“Saya serius, Dok,” Adam mengangguk. Menghentikan tawanya. “Walaupun matanya teduh, tapi keberanian di rahangnya terlihat jelas. Keberanian melindungi adiknya,”
Adam terdiam.
“Walaupun saya sebenarnya juga tidak akan menyentuh adiknya, Dok. Hiks,” wanita itu mulai menangis. “Saya memang hanya akan memukulinya saat itu. Walaupun..” wanita itu menahan napas sejenak. Membiarkan air mata mengalir pelan di pipi keriputnya. “Walaupun dia berani sekali menantang saya untuk memukuli adiknya,” wanita itu masih menangis. Tangisnya jauh lebih deras. Sesekali ia menyeka hidungnya dengan ujung lengan baju yang dikenakannya. Berusaha melanjutkan cerita, meski suaranya tertahan.
“Dia memeluk adiknya, saat saya mengambil patahan kursi. Aduh!” wanita itu memegangi dadanya. Adam spontan menyentuh tangan wanita itu.
****
“Kau tahu? Terakhir kali aku ke sana, dia berteriak meminta maaf. Memang! Tapi menyebut nama Teduh!” jari telunjukku menunjuk dahi Teduh yang duduk di jok belakang. Adam menghela napas panjang. “Bukankah itu bukti kalau dia memang tidak pernah menyesal pernah menyiksaku?” Teduh menelan ludah demi mendengar kalimat itu. Mataku tajam menatap bola mata bulat dan hitam cantik itu.
Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit jiwa tempat ibu dirawat belasan tahun ini. Adam membujukku selama dua minggu non stop. Terus menerus merusak pintu kamar yang sudah tiga kali diperbaiki. Menceritakan cerita yang sama setiap hari. Membuatku muak bahkan hampir muntah.
“Kalau begitu maafkanlah, Ranum,”
ucap Adam lembut sambil mengusap wajahnya. “Maafkan kesalahannya yang satu itu,” sambung Adam. “Ibumu telah berusaha mengembalikan memori menyakitkan miliknya, sendiri, ke diri sendiri, demi bisa menebus kesalahannya padamu. Maafkanlah,”
“Dia meminta maaf pada Teduh, bukan padaku,”
“Maafkanlah kesalahan dalam menyebut nama itu. Potong leherku jika ketika kita sampai, maaf itu bukan untukmu,” Adam terdengar sangat serius. Aku menelan ludah. Sakit itu seperti badai dalam hatiku sekarang.
“Maafkanlah yang bisa kau maafkan dari dirinya. Meski itu hanya yang terkecil,”
“Bukan hanya karena dia ibumu, Ranum. Tapi karena dia telah memikul penyesalan selama belasan tahun dalam rumah itu. Dia menjemputnya sendiri. Kami, perawat dan dokter hanya membantu mereka stabil dengan keadaan mereka. Dia melakukannya sendiri,” Adam terdengar semakin serius.
****
Pintu putih itu siap dibuka. Tidak ada suara menangis, atau teriakan parau meminta maaf. Hening. Aku bersedekap. Entah berlindung dari apa, atau menghangatkan diri karena apa. Rasanya seperti bersiap-siap untuk mengetuk rasa sakit itu agar berhamburan dan membasahi sekujur tubuh.
Adam menekan kenop pintu. Mendorong pintu ke dalam.
Ibu duduk di atas kasur. Seolah menunggu kehadiran seseorang dari balik pintu kamarnya. Aku menelan ludah. Bersiap patah hati.
Bruk!
Ibu menabrakku. Memelukku erat. Lihatlah, rambut putihnya hanya bisa menyentuh hidungku. Aku jauh lebih tinggi dari ibu. Pelukan itu semakin erat dan hangat. Kudengar isakan pilu itu.
“Maafkan ibu, Nak. Ibu menyesal, Sayang. Maafkan ibu,” gemetar suara itu berbisik di dadaku. Aku menggigit bibir. “Maafkan ibu, Teduh,” aku kalah. Air mata membanjiri wajahku. Tumpah ke rambut putih ibu. Aku hendak membalas pelukan ibu. Tapi sebelum itu terjadi, ibu menarik pelukannya.
Menyentuh pipiku. Menatap bola mataku.
“Bukan. Namamu bukan Teduh. Namamu,” ibu tampak berpikir keras. Dahinya berkerut. Ia mengambil kertas di atas ranjang. Kertas itu penuh coretan. “Namamu, kan?” gemetar ibu menunjukkan kertas itu. Tulisan ibu tidak terlalu jelas. Seperti anak kecil yang baru belajar menulis. Tapi aku bisa membacanya dengan jelas. “Namamu Ranum,” ibu menyentuh pipiku yang basah. Aku menunduk.
“Maafkan ibu,” jari itu gemetar mengusap air mataku. “Maafkan ibu salah memanggilmu. Matamu memang teduh. Itu yang ibu ingat,” terbata-bata ibu menjelaskan alasan ia salah menyebut namaku.
“Tidak apa, Bu,” bisikku. Sulit sekali bicara dalam kondisi sesesak ini. “Tidak apa ibu salah. Tidak apa ibu salah memanggil namaku. Ibu boleh memanggilku apapun yang ibu mau. Teduh pun boleh,” mataku pelan melirik Teduh di sampingku yang menangis sambil mengigit bibir. “Tapi aku ini Teduh Satu, Bu. Dia Teduh Dua, adikku,” aku menarik bahu Teduh untuk memeluk ibu.