Judul: Khadijah, Ketika Rahasia Mim Tersingkap
Penulis: Sibel Eraslan
Penerbit: Kaysa Media
Tahun terbit: Jakarta, 2019
Tebal halaman: xxxii + 388 halaman
Ukuran buku: 13,4 x 19 cm
ISBN: 978-979-1479-63-9

Resensi:

Menjadi wanita salihah adalah impian bagi seluruh muslimah di dunia. Namun, tidak semua dari kita paham cara menjadi wanita salihah tersebut. Jika kamu termasuk orang yang tidak paham, maka mudah saja. Kamu dapat menjadikan wanita muslimah di zaman Nabi sebagai panutan.

Salah satunya adalah Khadijah binti Khuwailid. Siapa yang tidak mengenal sosok Khadijah? Seluruh umat muslim pasti mengenalnya. Beliau merupakan istri pertama Rasulullah saw., yang ikut serta dalam perjuangan dakwah menyiarkan agama Islam pada masa jahiliyyah bersama Rasulullah saw. Beliau termasuk golongan orang-orang yang pertama kali memeluk agama Islam, orang pertama yang mengimani Rasulullah saw., serta diberi gelar sebagai Ummul Mukminin atau ibunda bagi orang-orang yang beriman.

Novel ini menuliskan cerita tentang perjalanan hidup Khadijah, mulai dari lahir hingga wafat. Popularitas Khadijah atas akhlak dan perjuangannya dalam menyiarkan agama Islam, ditulis oleh Siber Eraslan dengan gaya bertutur bak puisi. Membuat kita ikut hanyut dalam cerita yang terjadi ribuan tahun lalu dan ikut merasakan gejolak emosi di setiap peristiwa.

Perjalanan cinta Khadijah sebelum menikah dengan Rasulullah saw., juga ditulis dalam novel ini. Beliau telah menjalani pernikahan sebanyak dua kali. Bahkan, lewat pernikahan keduanya, kita akan menyadari betapa bijak Khadijah menjalani kehidupan rumah tangga. Sang suami–Atik bin Aziz–merupakan sosok yang zalim terhadap Khadijah dan anak-anaknya. Atik suka bermabuk-mabukan hingga malam hari dan pulang dengan perasaan emosi yang membara-bara. Hampir setiap malam, Khadijah begitu tabah menerima caci dan makian dari Atik, suaminya.

Hebatnya, hal ini justru menampilkan kepribadian Khadijah yang begitu luar biasa. Khadijah tidak pernah menjawab perkataan suaminya, apalagi dengan nada tinggi. Meski diperlakukan semena-mena oleh sang suami, Khadijah tidak pernah sekalipun bersikap tidak baik. Hingga suatu hari, saat Khadijah sudah matang memikirkan langkah demi melindungi diri dan anak-anaknya, ia pamit untuk pergi meninggalkan Atik sekaligus meninggalkan pernikahan mereka. Tanpa basa-basi, tanpa perlu banyak bicara, hanya dengan kata “Cukup!” Khadijah pergi dari rumah Atik membawa anak-anaknya, menyelamatkan diri dari pernikahan tidak sehat tersebut.

Hal tersebut menjadi salah satu peristiwa yang benar-benar menginspirasi kita. Sebab, sikap Khadijah yang berpikir matang, menghindari perdebatan, dan berani mengambil keputusan menjadi sesuatu yang luar biasa.

Khadijah tidak langsung bertemu dengan Muhammad saw., setelahnya. Ia merasakan kesepian yang menggebu-gebu seperti yang anak muda saat ini rasakan. Khadijah memberikan contoh pula dalam kasus ini (perasaan kesepian yang menggebu-gebu), yakni dengan tidak gegabah memutuskan menikah atau memiliki hubungan dengan orang lain. Khadijah dengan sabar dan tabah menjalani hari-harinya, meski di samping merasakan kesepian, ia juga merasakan kerinduan yang tidak bertuan.

Selain itu, pemaparan terkait keadaan Makkah pada zaman itu benar-benar ditulis secara detail dan jelas. Budaya, kebiasaan, dan adat istiadat digambarkan dengan baik lewat kalimat demi kalimat. Perjuangan Khadijah menemani dakwah Rasulullah saw., menjadi amat menegangkan dan memicu adrenalin ketika membacanya. Bahkan, di akhir cerita, ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw., terus-menerus mengakui dan memuji perjuangan Khadijah dalam menemaninya berdakwah.

Hal yang sangat disayangkan dari buku ini, terletak pada perpaduan warna font (merah muda) dan kertas yang membuat tulisan tidak hidup dan tegas. Karena itu, buku ini memang agaknya kurang menarik secara visual.

Ada satu hal yang mengusik saya saat membaca buku ini. Entah mengapa beberapa bagian populer dari perjalanan hidup Khadijah tidak diceritakan. Seperti Khadijah yang mengajukan diri untuk dilamar oleh Rasulullah saw., padahal saya sendiri menunggu bagian itu. Bagian tersebut seperti sengaja dilompati oleh penulis hingga langsung menuju proses akad dan walimah yang diadakan di kediaman Khuwailid. Begitu juga saat Khadijah sedang menghadapi sakaratul maut, kisah populer bahwa Khadijah meminta sorban Rasulullah saw., untuk dijadikan kain kafannya juga tidak dicantumkan.

Sebenarnya, saya juga tidak mengerti alasan penulis tidak menuliskan peristiwa tersebut. Entah apakah cerita tersebut tidak benar adanya atau tidak ditemukan dalilnya, wallahu a’lam. Namun, saat membaca, saya juga mendapat isu bahwa buku ini mengandung pemahaman syiah. Saya sendiri tidak merasakan kejanggalan atau pemahaman syiah ada dalam buku ini. Semoga saja, isu itu tidak benar.

By Ridha Noor Amalia

Halo! Semoga kamu suka tulisan saya. Jangan lupa share, ya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!