Judul: Janji
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT Sabak Grip Nusantara
Tahun terbit: Cet. 10, Juni 2023
Tebal halaman: 488 halaman
Ukuran novel: 20×13,5cm
ISBN: 978-623-97262-0-1

Resensi:

Kematian memang sebuah misteri. Meski kita tahu, perjalanan hidup seseoranglah yang jauh lebih misterius.Tidak mudah bagi kita untuk tidak berprasangka atau menilai seseorang berdasarkan perilakunya hari ini. Sebab sering kali seseorang kerap berubah seiring berjalannya waktu. Tak jarang kita menemukan fakta bahwa orang yang sama akan menjadi orang yang berbeda di kemudian hari, bahkan di penghujung kehidupannya.

Perkenalkan, dia adalah Bahar. Novel ini menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang penuh kelokan tajam di ujung jalan. Perubahan demi perubahan yang terjadi begitu saja di dirinya, mulai dari menjadi yang paling buruk hingga jadi yang terbaik, menjadi seorang pembunuh hingga menjadi yang orang tua yang amat dimuliakan, semua terjadi begitu saja dalam perjalanan kehidupannya.

Kisah ini dimulai dari penyesalan seorang kiyai–yang akrab disapa Buya oleh murid-muridnya di sebuah pondok pesantren–karena telah menyerah mendidik Bahar yang nakal. Kenakalan Bahar, remaja usia 15 tahun itu memang sudah tak dapat ditoleransi. Kenakalan yang ia lakukan semenjak belajar di pondok pesantren tersebut berujung pada kematian. Ia menembakkan meriam bambu besar ke salah satu gedung pondok, membakar gedung tersebut, hingga menghanguskan salah seorang santri yang sedang terlelap dan tak sempat diselamatkan.

Mengapa Buya menyesal setelah mengusir Bahar yang nakal? Sebab beberapa hari setelah Bahar pergi, Buya memimpikan mimpi yang sama dan indah selama tiga malam berturut-turut tentang Bahar. Mimpi itu membawa Buya untuk mencari Bahar hingga bertahun-tahun lamanya. Bahkan sebelum ajal genap menjemput, beliau mengamanatkan pencarian Bahar ini pada anaknya (yang kini juga akrab disapa “Buya” karena menggantikan posisi ayahnya).

Novel ini menggunakan alur maju-mundur untuk menceritakan kisah perjalanan hidup Bahar. Meski begitu, kita akan tetap bisa menikmati potongan-potongan ceritanya dengan jelas. Kisah ini dimulai dari tiga sekawan (murid Buya) yang mendapat hukuman karena telah mengerjai tamu pondok. Hukuman tersebut adalah mencari Bahar. Tak terbayangkan Kaharuddin, Hasan, dan Baso yang harus mencari sosok Bahar–yang tumbuh di era 80-an–di tahun ini, berpuluh tahun setelahnya hanya bermodalkan secarik kertas dan uang saku dari Buya.

Petualangan tiga sekawan akan membawa kita menemui banyak orang yang pernah singgah di hidup Bahar. Mengapa disebut singgah? Sebab hampir seluruhnya mengaku kehilangan Bahar (tanpa jejak) di potongan hidup mereka. Mulai dari Bos Acong, mantan penguasa Kota Tua yang bertemu Bahar di sebuah lapo tuak. Pak Mansyur, mantan sipir yang bertemu Bahar di penjara. Muhib, yang mengawali kariernya dengan menjadi asisten Bahar. Hingga sebuah lingkungan yang mengenal baik sosok Bahar.

Meski perubahan karakter Bahar agaknya terdengar mustahil, tapi penulis mampu merangkai potongan demi potongan hidup Bahar menjadi sangat masuk akal. Bahkan, kita akan dikejutkan dengan 5 pusaka berupa pesan dari Buya tepat sebelum Bahar angkat kaki dari pondok.

Pesan-pesan tersebut yaitu, 1) Selalu hormati dan bantu tetanggamu; 2) Selalu lindungi yang lemah dan teraniaya; 3) Senantiasa jujur dan tidak pernah mencuri; 4) Bersabarlah atas apapun ujianmu; 5) Bersedekah, bersedekah, dan bersedekahlah.

Kelima pusaka ini bagai mengalir dalam cerita. Kita akan menemukan banyak pertanyaan dalam kepala saat membaca novel ini. Alasan Bahar yang berkorban untuk tetangganya, tidak pernah menaruh dendam pada orang yang bahkan pernah menyiksanya, hingga Bahar yang terkenal selalu mengalirkan uangnya untuk bersedekah.

Hal pertama yang menarik minat saya untuk membaca buku ini, sudah pasti ada pada ketertarikan visual pada desain sampul. Novel ini diberi sampul yang sederhana dan menyala. Perpaduan warna abu muda dan merah darah, serta menjadikan fon judul sebagai desain utama, membuat novel ini menjadi amat menarik. Sayangnya, Tere Liye kerap sekali mengabaikan aturan penulisan secara EYD demi kepuasan para pembaca dalam menyelami cerita.

Seperti pada dialog di mana Haryo–salah seorang teman penambang emas Bahar–yang berhasil menemukan bongkahan besar emas.

“Emas, Mas! EMAAS!” Haryo berseru, mengangkat bongkah emas sebesar kepal tangan laki-laki dewasa itu. Haryo tertawa lebar, berseru sekali lagi, “EMAAAS! KITA DAPAT EMAAAS!”

Secara EYD, penggunaan huruf kapital di atas kurang benar. Huruf kapital hanya dapat digunakan di awal kalimat dan pada keadaan tertentu yang dapat kita baca di sini.

By Ridha Noor Amalia

Halo! Semoga kamu suka tulisan saya. Jangan lupa share, ya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!