Judul : The Golden Stories of Khadijah & Fatimah
Penulis : Badiatul Roziqin
Penerbit : Semesta Hikmah Publishing
Tahun terbit : Cet. 5, 2019
Tebal halaman : vi+186 halaman (Khadijah), vii+160 halaman (Fatimah)
Ukuran buku : 14x15cm
ISBN : Tidak tercantum
Resensi:
Siapa yang tidak mengenal sosok Khadijah dan Fatimah? Dua wanita kecintaan Rasulullah Saw., yang namanya berulang kali disebutkan dalam riwayat sebagai wanita mulia yang ikut mengawali dakwah beliau. Pada tahun lalu, saya sempat meresensi buku “Khadijah, Ketika Rahasia Mim Tersingkap” karya Siber Eraslan tentang perjuangan Khadijah dalam menemani dakwah Rasulullah Saw. Kali ini, izinkan saya meresensi buku ini sambil membandingkan antara keduanya.
Cetakan buku ini cukup unik. Jika biasanya kita akan menemukan blurb di bagian belakang buku, maka kali ini kedua sisi (depan dan belakang buku) berupa sampul. Satu sisi untuk sampul bagian “Romantika Cinta Fatimah dan Ali”, sementara sisi lainnya “Romantika Cinta Khadijah dan Muhammad Saw”. Jadi dua cerita romantis tersebut tidak diceritakan dalam satu buku, melainkan dipisah di bagian tengah. Sederhananya, kamu punya dua buku dalam satu genggaman.
1. Romantika Cinta Khadijah dan Muhammad Saw.
Pada bab awal buku ini, kita akan diperkenalkan dengan Khadijah binti Khuwailid. Ia adalah wanita pebisnis yang kaya raya di kota Mekkah. Kekayaan tersebut menjadikannya populer karena di samping kesuksesannya dalam mengelola bisnis, ia juga dermawan yang suka berbagi kepada siapa saja, entah itu kepada pegawainya sendiri, maupun fakir miskin di sekitarnya.
Selain itu, diterangkan pula bahwa Khadijah merupakan wanita suci karena tidak pernah menyembah berhala sejak kecil. Meskipun adat dan budaya di Kota Mekkah sangat kental dalam melakukannya, Khadijah tak pernah sama sekali menyentuh budaya tersebut.
Suatu hari, Abu Thalib selaku paman Muhammad Saw., merasakan kegelisahan. Ia tidak lagi muda dan tidak memiliki harta yang cukup untuk diwariskan pada anak-anaknya, apalagi saat itu ia mengasuh keponakannya. Rasanya tak ada masa depan yang cerah bagi Muhammad Saw., jika hanya mengandalkan dirinya seorang. Lalu tercetuslah ide untuk mengajukan Muhammad Saw., agar ikut serta dalam kafilah dagang milik Khadijah. Memang saat itu, kafilah tersebut sedang mempersiapkan perjalanan ke Negeri Syam.
Hal tersebut disampaikan oleh utusan Abu Thalib dan disetujui oleh Khadijah. Sebenarnya, sebelum utusan Abu Thalib datang padanya, Khadijah telah berulang kali bermimpi indah sekaligus aneh. Mimpi ini ditafsirkan oleh Waraqah–sepupunya yang bijaksana–sebagai pertanda bahwa Khadijah akan menikah dengan seorang lelaki yang mulia, yang kelak akan menjadi nabi terakhir. Bahkan, Waraqah menyebutkan dengan jelas bahwa lelaki itu adalah Muhammad Saw.
Maka ketika Muhammad Saw., diajukan untuk ikut serta dalam kafilahnya, Khadijah merasa ini adalah sebuah kesempatan emas untuk mengamati karakter dan sifat Muhammad Saw. Khadijah melakukannya dengan meminta Maisarah–salah seorang pegawainya–untuk menjaga sekaligus memantau Muhammad Saw.
Setiba kembalinya kafilah ke Kota Mekkah dan mendapatkan laporan dari Maisarah, hati Khadijah semakin mantap. Kemudian ia meminta temannya untuk datang menemui Muhammad Saw., memberitahukan maksud bahwa Khadijah bersedia untuk menikah dengan Muhammad Saw.
Muhammad Saw., menyetujui hal tersebut dan memberitahukan Abu Thalib. Mendengar hal tersebut, Abu Thalib amat senang karena Khadijah adalah wanita terhormat di Mekkah. Keduanya pasti akan menjadi pasangan yang sangat ideal.
Benar adanya bahwa Khadijahlah yang memulai langkah untuk bisa menikah dengan Rasulullah Saw. Ini menjadi sebuah contoh bagi anak muda di zaman ini, bahwa bukanlah suatu kehinaan jika wanita mengajukan dirinya untuk dilamar oleh lelaki yang ia rasa baik untuknya.
Khadijah menemani Rasulullah dalam suka maupun duka berdakwah. Ketika membaca buku ini, terbayangkan dengan jelas betapa letihnya Khadijah menjadi pendamping sosok utusan terakhir Allah. Hingga di suatu kesempatan, Jibril menyampaikan salam dari Allah kepada Khadijah lewat Rasulullah Saw., disertai dengan sebuah janji bahwa Khadijah telah dibangunkan istana di surga di mana tidak akan ada kesulitan dan kepayahan di sana.
Dalam buku “Khadijah, Ketika Rahasia Mim Tersingkap” karya Siber Eraslan, hal ini juga diceritakan demikian. Namun, buku The Golden Stories of Khadijah ini memang jauh lebih lengkap dan detail menceritakan kesulitan dan kepayahan yang dialami oleh Khadijah dan Muhammad Saw. Bahasanya juga ringan dan mudah dipahami, sehingga dapat tergambar dengan jelas bagaimana keadaan pasangan ini kala itu.
Buku ini mengklaim dirinya sebagai karya romansa karena isinya memang didominasi oleh romansa kehidupan pernikahan Khadijah dan Muhammad Saw., di tengah-tengah badai ujian dakwah berlangsung. Kepedihan kala Rasulullah Saw., dihina dan dizalimi oleh masyarakat Mekkah sangat terasa jelas. Saya bahkan ikut sakit hati tiap membaca bagian-bagian di mana Rasulullah Saw., dianggap gila karena meneriakkan ajakan memeluk Islam.
Hal yang paling saya sukai dari kisah Khadijah dan Muhammad Saw., adalah saat Muhammad Saw., tahu bahwa menjadi utusan Allah artinya akan dibenci oleh banyak orang, hinaan dan kemelaratan akan mereka rasakan, bahkan gelar Al-Amin yang telah disandangnya akan tampak sia-sia. Tentulah orang akan mempertanyakan gelar tersebut karena sikap Muhammad Saw., yang mendadak aneh dan terlihat sinting.
Bagian terbaik dalam kisah ini jatuh pada kalimat Khadijah untuk meyakinkan Rasulullah Saw. Ia berkata,
“Setidaknya kau bisa mengajakku untuk memeluk agamamu. Karena aku percaya padamu.”
Saya meleleh mendengarnya. Muhammad Saw., yang mulanya ragu atas misinya, menjadi begitu sumringah. Ia menggenggam kedua tangan Khadijah saat menuntunnya mengucap dua kalimat syahadat. Benarlah jika Muhammad Saw., tak dapat melupakan Khadijah di sepanjang hidupnya, sebab Khadijah adalah orang pertama yang memercayainya, yang tak perlu berpikir panjang untuk mencerna kalimat Muhammad Saw. Kesaksian Muhammad Saw., bahwa ia dijadikan utusan terakhir Allah di muka bumi, tak melunturkan sedikitpun rasa percaya Khadijah terhadap suaminya. Khadijah selalu yakin pada Muhammad Saw.
2. Romantika Cinta Fatimah & Ali bin Abi Thalib
Kisah yang satu ini memang paling menarik di kalangan anak muda. Dua insan yang saling mencintai dalam diam. Bahkan, setanpun tidak pernah tahu bahwa Fatimah menyimpan perasaan pada Ali. Sementara itu, Ali juga sangat menghormati Fatimah sebagai anak Rasulullah Saw. Ia merasa tidak selevel dan tidak sebanding dengan sosok Fatimah. Sifat-sifat inilah yang justru membuat cinta mereka setara dan bersatu bahkan sebelum Rasulullah Saw., menikahkan keduanya.
Jika kamu pernah mendengar kisah detik-detik Ali melamar Fatimah, di buku ini, kisah itu akan sangat seru untuk dibaca. Seperti yang telah saya jabarkan sebelumnya, penggunaan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti membuat ceritanya menjadi semakin menarik.
Saat Abu Bakar dan Umar bin Khattab melamar Fatimah dan ditolak, hingga ketika Ali yang melamar Fatimah dengan ragu-ragu, semua digambarkan begitu seru. Dari buku ini, saya bahkan bisa merasakan betapa tegangnya Ali menghadap Rasulullah Saw., betapa bahagianya Rasul ketika Ali akhirnya melamar putri kesayangannya, Fatimah, dan betapa lucunya Fatimah yang diam membisu tatkala diberitahu bahwa Ali datang melamarnya.
Benar, Fatimah memang membisu. Membaca bagian tersebut di buku ini membuat saya berteriak histeris. Fatimah menunjukkan sifat seorang gadis yang bahagia dilamar oleh pujaan hatinya. Ini tergambar jelas lewat susunan kata dan kalimat yang dirangkai oleh si penulis dengan sangat baik dan indah.
Perjuangan Ali dan Fatimah juga tak kalah luar biasa. Mereka adalah salah satu keluarga miskin di Mekkah karena selalu mengutamakan orang lain dalam urusan apapun. Diceritakan bahwa keluarga mereka seringkali menahan lapar hingga berhari-hari. Setiap mereka memiliki makanan dan menemukan orang yang kelaparan, mereka akan mendahulukan memberi makanan tersebut ke orang lain, tak peduli seberapa menyakitkan kelaparan yang mereka derita.
Hal tersebut ditiru oleh ketiga anaknya, Hasan, Husein, dan Zainab. Buku ini menceritakan dua riwayat yang berbeda dengan cerita yang sama terkait momen tersebut.
Luar biasa sekali rasanya, penulis dapat menceritakan dua riwayat yang berbeda dengan adegan yang detail dalam buku ini. Hanya saja, beberapa kali saya menemukan cerita yang sama diulang-ulang (entah apa tujuannya). Bahkan, kisah Fatimah diceritakan persis hingga dua kali dalam buku ini.
Seperti pada buku Khadijah, ada bagian kisah anak-anak Khadijah dan Muhammad Saw., di mana salah satunya adalah kisah Fatimah. Penjelasan tentang Fatimah di sini sama persis dengan yang ditulis di buku “Romantika Cinta Fatimah dan Ali”. Hanya ada beberapa bagian yang dipotong (tidak selengkap di buku Fatimah), tapi cerita tersebut sama persis.
Saya mengerti jika ceritanya tak mungkin dilebih-lebihkan ataupun dikurang-kurangkan. Hanya saja, penggunaan kata, kalimat, hingga susunan paragrafnya sama persis. Saya bahkan mengira bagian Fatimah hanya disalin dan tempel saja. Entahlah apakah penulis melewatkan hal detail ini, atau pihak penerbit yang melakukan kesalahan dalam proses editing.
Buku ini sangat menarik dan saya yakin akan sangat mudah mendapatkan perhatian anak muda zaman sekarang. Namun, pengulangan dalam penulisan ini agaknya menjadi hal serius bagi citra buku ini sendiri. Semoga ke depannya, buku ini hadir dengan perbaikan yang lebih baik.