“Kau jatuh cinta padanya, Rembulan,” bisiknya pelan.
Aku terdiam. Memutar bola mata. Menunjukkan raut benci terhadap pernyataan itu.
“Kau kehilangan salah satu teman terbaik yang pernah kau punya,” ia meneruskan pernyataannya.
Mataku semakin memicing ke depan. Dasar sok tahu.
“Oh, tidak. Aku salah. Kau memang tak punya teman. Kau tahu kenapa?”
Ujung bibirku naik sebelah. Tahu apa dia?
“Itu karena syaratnya terlalu tinggi. Seolah kau adalah malaikat di muka bumi ini,”
Aku menelan ludah.
Benar, aku telah jatuh cinta pada Esa. Siang ini aku datang ke warung mi ayam langganan kami dan duduk di meja barisan kedua sebelah kanan. Seperti biasa, pelayan bertanya jumlah orang yang akan makan di mejaku. Tanpa ragu kusebut satu orang. Aku sendiri, tanpa Esa di sini.
Saat itu Januari. Itu artinya, tiga bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir kami. Aku sedang menyimpan tanya tentangnya dan dia sibuk bercerita tentang kesibukan di kantornya. Kunikmati cerita-cerita yang keluar dari bibirnya sambil kukepalkan tangan–menahan diri untuk tak bertanya tentang posisiku di hatinya.
Aku masih menatap benci sosok di hadapanku.
Meski benar yang ia katakan. Aku mematok standar yang cukup tinggi untuk membuat sebuah ikatan. Menjadi temanku saja butuh syarat-syarat yang harus terpenuhi, apalagi menjadi lebih dari teman.
Tolong jangan menghakimiku dengan penilaian-penilaian yang kalian comot dari sosial media itu. Dengarkan aku. Akan kujelaskan mengapa Esa berhasil menembus pertahanan ini. Masuk ke dalam hatiku hingga sekarang tertinggal tak mau keluar, meski orangnya telah pergi.
Esa seorang lelaki. Iya, aku perempuan. Itu normal. Tapi tak semua lelaki adalah lelaki. Ia akan berjalan di depan memimpin jalan saat aku bertanya di mana letak toilet di sebuah pusat perbelanjaan. Apa katamu? Biasa saja. Baiklah, akan kutambah.
Garis wajahnya menggambarkan sosok pekerja keras. Pertemuan kami selalu diisi dengan ceritanya tentang perusahaan yang sedang ia rintis. Sejujurnya, aku tak paham betul perusahaan macam apa yang sedang ia upayakan itu. Tapi mendengarnya berbisik bangga–karena ibunya diam-diam mengintip dokumen perusahaan dan bercerita pada tetangga–membuat hatiku meledak. Aku turut berbahagia.
Esa memegang teguh prinsip hidupnya dan tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain. Kalian ingin bukti? Baiklah. Jika kalian berjuang keras untuk mendaftarkan nama sebagai seorang mahasiswa di universitas impian, Esa tak perlu melakukannya. Ia akan datang ke sebuah kampus, duduk di kursi kosong dalam sebuah kelas yang dosennya sedang aktif berbicara–menjelaskan panjang lebar tentang fakta dunia–lalu pulang. Bagi Esa, kuliah itu penting. Tapi tak penting jika “yang penting kuliah”. Ia pembelajar yang hebat.
Esa tak banyak bicara, penuh tindakan. Aku benci sekali dengan lelaki yang bicara panjang lebar untuk membuktikan betapa hebat dirinya. Terserah jika di bagian ini kalian ingin menghujatku, tapi ini adalah bagian favoritku. Esa akan duduk di depan laptop, mengurus ini-itu untuk mempersiapkan sebuah acara besar, untuk kemudian duduk di bangku paling belakang–saat acara berlangsung–tanpa ingin orang lain tahu bahwa ialah yang mempersiapkan segalanya. Esa tak haus validasi. Aku suka itu.
Esa akan mendekap tangannya ke dada tiap kali berpikir keras. Sorot matanya tegas menatap ke depan tiap kali hendak memutuskan sesuatu. Persis seperti ayahku.
“Benar, kan? Kau memang jatuh cinta padanya. Tak perlu banyak alasan, Rembulan. Dia mirip ayahmu,” sosok itu kembali berkomentar.
“Berisik,” kataku.
“Sudahlah, Rembulan. Apa sulitnya mengaku?”
“Dia sudah pergi,” ucapku pelan.
“Dan kau masih saja mencintainya. Dasar Bodoh! Ha-ha-ha!” tawanya meledak.
Aku memelototinya.
Pelayan datang membawa mi ayamku.
“Mbak, boleh tolong pindahkan cermin itu?” pintaku sambil menunjuk cermin yang tergantung di dinding tepat di hadapanku.
Pelayan itu mengangguk. Mencopot pengait cermin dari paku dan memasukkannya dalam gudang. Aku tersenyum puas. Rasakan!