“Silakan,” ujar pelayan sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja.
Aku mengangguk tersenyum.
Menyeruput kopi perlahan. Memandang kaca bening yang menyajikan pemandangan jalan raya di hadapanku. Jalanan itu tampak ramai, tapi tak padat. Atau memang tidak pernah padat?
Ini adalah kali pertama aku datang ke kedai kopi ini. Aku hendak bertemu seseorang yang telah lama kukenal, tapi baru kali ini aku berani menemuinya. Ketakutan menyelimuti sekujur tubuhku sejak pantatku mendarat di kursi ini. Namun ada yang jauh lebih penting dari sekadar rasa takut itu; diriku.
Aku menghela napas. Berat.
Bukan karena jarum jam terus bergerak dan dia belum juga datang.
Hanya saja, aku teringat sesuatu yang memaksaku untuk menemui seseorang ini. Sesuatu yang entah penting atau tidak, ingin kuceritakan.
Kata orang, terlahir sebagai seorang kakak sekaligus seorang adik adalah nasib buruk.
Aku antara percaya dan tidak pada mitos itu. Bukankah seluruh nasib punya sisi baik dan buruk? Kenapa nasib yang satu itu hanya kebagian buruknya saja? Ingin aku mengelak dan bilang bahwa mitos itu harus segera dimusnahkan. Ini sudah abad ke-21, hei! Masih ada saja pemikiran kolot macam itu.
Namun aku bisa apa? Kalimat itu seolah menjadikanku salah satu bukti nyata. Aku terlahir sebagai anak tengah. Menjadi seorang adik perempuan dari seorang kakak perempuan, sekaligus menjadi kakak perempuan dari adik perempuan.
Jika kuceritakan tentangku, rasanya kalian akan mengangguk-anggukkan kepala, lalu mengacungkan empat jari jempol (dua jempol tangan dan dua jempol kaki) untuk menunjukkan betapa setujunya kalian terhadap mitos yang satu itu.
Pernah suatu hari aku pergi ke perpustakaan seberang sekolah. Sekolahku punya perpustakaan, sih. Hanya saja tidak lengkap untuk kebutuhan artikel yang akan aku lombakan minggu depan. Hari itu aku pamit pergi pada mamak tepat pukul sebelas siang.
“Jangan pulang terlalu larut, Nayanika,” pesan mamak.
Hampir dua jam aku mengelilingi rak-rak buku raksasa dalam perpustakaan. Rasanya bagai berada di perpustakaan raksasa milik Detektif Conan dalam komik. Rak-rak bukunya benar-benar menjulang, membuatku kesulitan mengamati satu persatu buku, dan memilih mana yang cocok untuk jadi referensiku. Belum lagi, penjaga perpustakaan–seorang wanita berusia lima puluhan–yang suasana hatinya kunilai sedang buruk. Ketika kutanyai tentang judul buku yang ingin kupinjam, ia malah marah. Aneh.
Entah sial atau tidak, tapi kuhabiskan dua jam itu hanya untuk menemukan dua buku yang kurasa cocok–di antara ribuan buku yang terbentang di rak-rak raksasa ini. Bahkan ketika tanganku hendak menarik kursi, siap untuk membaca, ponselku bergetar. Pesan dari mamak.
“Nayanika, pulang. Bantu mamak memasak!”
Aku terduduk lemas di atas kursi.
“Belum selesai, Mak. Baru dapat dua buku, itu juga belum kuperiksa isinya,”
Mamak adalah orang tercepat dalam urusan balas membalas pesan se-Galaksi Bima Sakti. Ketika hampir sepuluh menit kutunggu dan tidak ada pesan balasan apapun yang masuk, aku bangkit. Pastilah mamak tidak mau menerima alasan itu. Aku harus pulang.
Lihatlah! Langit masih terang benderang. Matahari bukan main sombongnya memamerkan cahaya. Bukankah pesan mamak agar aku tidak pulang terlalu larut? Larut dari mananya pukul dua siang begini?
Sesampainya di rumah, aku sungguh mengumpat dalam hati.
Hei! Suar–kakakku–bahkan bersantai ria dengan gawai di kamarnya. Sementara suara panci yang beradu dengan sodet di dapur tak henti-hentinya memekakkan telinga. Dia itu peka, atau pekak?
“Mamak mencarimu!” serunya keluar dari kamar, mendapatiku berdiri dengan wajah kusut tepat di depan pintu kamarnya.
Aku mendengus kesal.
“Aku tahu. Disuruh membantu memasak, bukan? Kenapa bukan kau saja?” protesku.
“Mana kutahu,” Suar mengangkat bahu.
Aku mengganti baju dengan kaos oblong. Bergegas menemui mamak di dapur.
“Itu, Kak Suar di kamar,” kataku.
“Ini wortel dan kentang, tolong kau kupas, Nayanika,”
Aku menghela napas. Mengambil baskom berisi empat buah wortel berukuran sedang dan tiga buah kentang berukuran besar di atas meja.
“Kau keberatan? Biar mamak yang mengupasnya,” ucap mamak menilai helaan napasku.
“Tidak,” wajahku seketika menunjukkan perlawanan. Mamak menoleh, menatapku tajam. “Mamak tidak mendengarkanku,”
“Suar lelah sehabis belajar, Nayanika. Pengertianlah sedikit pada saudarimu,”
Aduh.
Jangan pikir itu kali pertama aku diminta untuk mengerti keadaan Suar, kakakku. Jelas saja itu adalah permintaan kesejuta kali dari mamak atau ayah.
Kalian tahu? Ayah itu sangat sayang pada Suar. Ia memiliki prestasi akademik yang sangat istimewa. Setiap tahun, gelar juara kelas pasti disandangnya. Dua tahun lalu, berhasil lolos ke universitas ternama di ibu kota jalur prestasi. Universitas impian ayah kala sekolah, yang tidak bisa ayah wujudkan dulu. Suar adalah bentuk kebanggaan tersendiri baginya.
Kalian ingin pembuktian? Baiklah.
Malam itu, awan gelap menyelimuti langit ibu kota. Aku sedang bersantai di depan laptop. Menonton film pahlawan fiksi Amerika favoritku. Belum hujan. Belum. Rintikpun belum ada yang jatuh. Hanya awan gelap yang datang bersama turunnya matahari di ufuk barat.
“Sudah dibeli obat ayah, Suar?” mamak datang ke ruang tengah sambil melepas afron dan menggantungnya di paku dinding.
“Eh iya. Lupa,” Suar menepuk dahi.
“Obat ayah mana?” tanya ayah tiba-tiba ikut muncul dari kamar.
“Suar lupa, Yah. Sebentar,” Suar bangkit dari posisi rebahannya.
Petir menyambar.
Suara gemuruh mulai terdengar menghentakkan rumah. Satu persatu air hujan mulai turun, suaranya seolah berdendang di atas atap rumah kami yang masih terbuat dari seng.
“Hujan, Suar,” ujar ayah. “Nayanika saja yang beli,”
“Loh, kok aku?” spontan aku bangkit dari posisi rebahanku. “Bukankah sejak siang tadi ayah menyuruh Kak Suar untuk membeli obat? Tugasnya, lah,” seperti biasa, aku protes dengan ekspresi yang tak terkendali.
“Hujan, Nayanika,” jawab ayah sambil kembali masuk kamar.
Aku mengumpat dalam hati. Memangnya kalau aku yang beli, hujannya akan berhenti? Wajahku lagi-lagi kusut. Jemariku heboh mematikan laptop.
“Mamak saja yang beli, Nayanika. Kalau kau tidak mau,” sambar mamak.
Ah, ancaman! Percayalah padaku. Itu adalah kalimat jitu mamak, tiap kali aku protes karena tugas Suar yang dilemparkan seenaknya padaku. Begitulah.
“Susah sekali kau ini kalau disuruh orang tua. Ayah sakit begitu. Suar juga daya tahan tubuhnya lemah. Hujan bisa membuatnya sakit. Apalagi ditambah angin malam,” mamak berjalan menuju kamar. “Mamak saja yang beli, biar mamak yang kehujanan,”
“Aku!” seruku sambil menyambar kunci motor di atas meja teve.
Tentu saja aku pergi ke apotek, membeli obat ayah, dan kembali dalam keadaan basah kuyup. Posisi dan keadaan ini sungguh membingungkan. Aku ingin protes tentang mamak dan ayah yang seringkali tak bersikap adil padaku, tapi lihatlah!
Tepat ketika motorku terparkir rapi di teras rumah, mamak dengan sigap menyelimutiku dengan handuk. Berpesan agar aku segera mandi dan berganti baju. Kutebak ia telah menunggu sejak lama di depan pintu. Perhatian sekali. Aku tak bisa berbohong soal itu.
Namun menurutku, itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Sebab keesokan paginya, mamak rempong memintaku untuk menjemput adikku di sekolah asrama.
“Adikmu sakit, Nayanika. Kau jemput dia, ya!”
“Jam berapa?” tanyaku sambil memainkan ponsel.
“Sekarang, Nayanika. Cepatlah kau ganti bajumu. Mamak siapkan jaket untuknya,”
“Kenapa buru-buru sekali? Memangnya Harum sakit apa?”
“Berhentilah bertanya, Nayanika. Panjang lagi untuk dijelaskan. Cepat ganti baju. Jemput adikmu!”
Kalian tahu? Tepat ketika aku sampai di asrama, Harum–adikku–seolah sehat wal afiat. Aku menggeram melihat tingkahnya yang masih sempat mencomot gorengan temannya sebelum menghampiriku.
“Ayo, Kak!”
“Kau pura-pura sakit, ya?” aku memicingkan mata.
“Tidak. Jangan berburuk sangka,” dengan santai ia mengambil helm yang kusangkutkan di kaitan motor.
Besoknya, giliranku pula yang tak sehat. Menurutku, ini akibat sepaket angin dan hujan deras malam itu, ketika aku membeli obat ayah.
Aku meringkuk di atas kasur hingga jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Kepalaku berdenyut bukan main, tangan dan kakiku terasa dingin sekali, sementara leher hingga badan terasa panas.
Tidak seberapa. Sungguh sakit itu ternyata tak seberapa dibanding teriakan mamak dari dapur.
“Bangun, Nayanika! Tak malukah kau pada matahari?”
Aku memejamkan mata. Berusaha menjawab pertanyaan itu. “Tidak, aku tidak malu, sebab matahari tidak pernah sakit,” begitulah kira-kira jawaban dalam kepalaku, yang tak sanggup kusuarakan.
Mamak masuk ke kamar.
“Keluarlah dari selimut itu, Nayanika,” ujarnya sambil menarik selimutku. “Eh, panas. Kau demam?” aku mengangguk.
Mamak membawa air jahe hangat dan meletakkannya di samping tempat tidur.
“Bangunlah, Nayanika. Mungkin itu karena kau tidur terlalu larut dan bangun terlalu siang. Sudah pukul sembilan. Siapapun yang bangun siang akan merasakan tidak enak badan,”
Aku memejamkan mata. Meresapi kalimat mamak. Tidakkah ia ingat anak tengahnya kemarin malam menerjang badai di belahan kota ini? Sedikit sajalah ia bisa mengingatnya, aku pasti juga akan sedikit lebih berbahagia.
Aku menghela napas. Berat. Lagi.
“Jadi, apa iya, aku terlalu sensitif? Baperan?” tanyaku pada seseorang yang telah hadir, tepat sebelum cerita pertama kurangkai.
Seseorang itu menggeleng.
“Kau tidak sensitif, Nayanika. Tak juga baperan,”
Aku mengangkat bahu. Lalu apa?
“Kau hanya perlu bersabar, Nayanika. Itu hukum alam. Takdir anak tengah,” jawabnya.
Bah!