Sumatra Dalam Lembaran Cerita

Judul                : Si Naknun—Lelucon Orang Mandailing/Angkola

Penulis            : Askolani Nasution

Penerbit          : Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

Tahun terbit    : Cet. Pertama, Juni 2023

Tebal halaman : vi+128 halaman

Ukuran            : 21×14,28 cm

ISBN                : 9786231946539

Resensi:

Rasa Naknun, jomlo itu macam serai untuk gulai. Harus selalu ada, tetapi tidak pernah dimakan. Paling juga diperas untuk penambah kuah. Itu juga kalau kuah betul-betul kurang. Macam takdir jomlolah. Dibutuhkan sebagai pewarna hidup, tetapi segera dibuang begitu ada pilihan pasangan kawin.

Bagaimana membaca paragraf di atas? Ada logat yang tak bersuara dan lelucon yang segar nan menggelitik perut. Itulah hal pertama yang saya dapati saat mulai menyelami kisah apes Naknun, seorang lelaki jomlo yang tinggal di suatu kampung di Kabupaten Mandailing, Sumatra Utara.

127 halaman berisikan hari-hari Naknun yang memikirkan gulai atau lauk makan hari ini. Gelar jomlo yang ia sandang di bahu semakin memberatkan perjalanannya setiap bangun pagi. Tinggal di gubuk sepetak, dengan dapur dan kamar yang harus saling berbagi peran, membuat karakter Naknun sebagai lelaki jomlo semakin kuat.

Tak hanya itu, alur cerita yang dibangun juga mengalir; menemani pembangunan karakter Naknun sebagai lelaki yang ogah jomlo seumur hidup. Ia kerap overthinking terhadap nasib dan masa depannya, tapi tetap berusaha mencoba berbagai cara agar kejomloannya berakhir.

Naknun, Naknun!

Sialnya, Naknun tidak bisa menghindari takdirnya yang penuh penderitaan. Karena jika Naknun tidak menderita, cerita ini akan berakhir di halaman pertama. Ha-ha-ha. Maka cerita ini memang layak menjadi hiburan karena kita akan menyaksikan penderitaan Naknun dalam tiap lembar cerita. Mulai dari diolok emak-emak kampung karena mencuci baju sendiri di sungai, berulang kali didatangi beruk betina di depan pintu gubuk, hingga tidak sengaja membuat Tiara—gadis impiannya—terkena tumpahan air panas.

Naknun memang sudah lama naksir Tiara. Setiap kali bertemu dengan gadis itu, satu kekonyolan pasti terjadi. Seperti saat manyaraya alias pesta panen khas Mandailing hendak diadakan. Mak Nangkan menyuruh Naknun untuk memetik daun jambu biji dan menyerahkannya pada Tiara—yang bertugas membuat teh daun jambu biji. Naknun berseru riang, karena ini adalah kesempatan baginya untuk membangun keakraban dengan Tiara meski hanya di depan kompor kayu bakar.

Namun dasar Naknun tidak bisa diberi kesempatan sedikit saja. Ia jahil melemparkan rumpun padi untuk menggoda Tiara yang masih menunggu air mendidih. Rumpun itu salah mendarat ke panci, membuat air panas tumpah mengenai Tiara. “Awas, jangan kau tegur-tegur aku, ya! Mau kau bunuh aku!” Begitulah Tiara marah pada Naknun.

Salah satu penderitaan Naknun favorit saya sendiri jatuh pada bagian 15, berjudul “Sesado”. Naknun yang tidak sabar dengan tarik-ulur Tiara, akhirnya menyetujui perjodohan misterius orang kampung. Bagian ini dibuka dengan irama sepatu kuda membawa sado, Naknun yang duduk rapi berpakaian putih, dan angin semilir yang meniup selendang gadis di sampingnya—membuat kita ikut larut dalam suasana tradisi pernikahan di kampung ini.

Naasnya, Naknun yang seharian penuh tidak sabar menanti malam pertama, salah istri! Tidak terbayangkan bukan, betapa lucunya bagian ini. Iya, Naknun salah menghampiri gadis yang telah membuka selendangnya saat acara hendak usai. Ia mengira gadis langsing semampai nan putih cantik, yang duduk di sampingnya adalah sang istri.

Gemetar gadis itu menjelaskan bahwa ia hanya pengantar pengantin berusia 14 tahun. Naknun yang tidak percaya, terus menggoda gadis itu agar segera menyelesaikan acara dan masuk ke kamar. Syukurlah Tuhan menyudahi penderitaan gadis belia tersebut, karena pengantin asli masuk dari pintu belakang.

Naknun marah besar. Keributan terjadi dan terdengar hingga ke seluruh penjuru kampung. Ia merasa dikerjai habis-habisan oleh orang-orang kampung, karena istrinya ternyata memiliki keterbelakangan mental. Kabar ini tentu saja sampai di telinga Tiara, membuat Naknun menjadi bahan olokan selama berhari-hari. Gagal sudah upaya Naknun untuk menjadikan pernikahannya sebagai alat balas dendam pada Tiara.

Meskipun begitu, bagian ini juga memicu pertanyaan besar bagi saya. Apa mungkin sepasang pengantin tidak mengenal satu sama lain selama acara berlangsung? Bahkan tragedi “salah istri” ini juga terjadi di malam saat acara hampir usai. Semoga bagian ini memang merupakan pengenalan budaya baru yang perlu saya pelajari, dan bukan karena kesalahan riset logika pada cerita.

Klasik, Tapi Segar!

Bujang Lapok—P. Ramlee, Kambing Jantan—Raditya Dika, dan Si Juki—Faza Meonk adalah beberapa karya tentang lelaki jomlo yang hidupnya apes—yang familiar bagi saya. Namun “Si Naknun” berhasil menjadi cerita yang segar dan lucu karena mengandung unsur kearifan lokal Sumatra Utara yang sangat kental.

Meski agak kecewa karena cerita ini tidak memiliki ending yang jelas alias menggantung, apresiasi yang sangat besar tetap saya berikan kepada Askolani Nasution selaku penulis. “Si Naknun” adalah buku berdialek Melayu Sumatra Utara pertama yang saya baca dan membuat saya ingin “tambah”—membaca buku-buku berdialek melayu lainnya.

Tradisi, budaya, dan karakter yang digambarkan dalam cerita ini sangat kuat. Tokoh pendukung seperti Tiara, Mak Nangkan, dan banyak tokoh lainnya juga tidak luput dari perhatian penulis. Masing-masing memiliki karakter yang kuat dan konsisten sepanjang halaman demi halaman dibalik. Sebagai warga asli Kota Medan, saya merasa amat dekat dengan keseharian Naknun, bahkan dapat menghirup suasana kampung tersebut lewat ilustrasi penuh warna yang disajikan di beberapa halaman.

Buku ini adalah hadiah Balai Bahasa Provinsi Sumatra Utara kepada saya—sebagai salah satu peserta “Bimbingan Teknis Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak Dwibahasa Tahun 2025”. Bagi saya, buku ini menjadi hiburan paling menyenangkan tahun ini. Selepas membacanya, doa-doa saya hajatkan kepada Sang Maha Kuasa agar segera terbit buku-buku lelucon Sumatra Utara lainnya. Amin-kan, kawan!

 

Rekomendasi bacaan lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *