Judul : Hello
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Sabak Grip Nusantara
Tahun terbit : Cet. 2, Juni 2023
Tebal halaman : 320 halaman
Ukuran buku : 20x13cm
ISBN : 978-623-882-9682
Resensi:
Pernahkah terfikirkan olehmu membaca sebuah novel bak menonton FTV? Perkenalkan Hello karya Tere Liye. Novel ini siap mengajakmu untuk membaca dengan nuansa asmara yang lucu, menggemaskan, sekaligus mengenaskan dengan kisah yang sering kita temui di televisi pada tahun 2000-an awal.
Kisah ini diawali dengan menyebut nama seorang wanita lajang berusia 24 tahun. Ana namanya. Meski masih amat muda, ia adalah seorang kontraktor hebat karena salah satu proyeknya berhasil dilabeli sebagai “Rumah Tropis Terbaik di Dunia”. Namanya menjadi pusat perbincangan awak media dalam maupun luar negeri. Mereka memprediksi bahwa Ana akan memegang proyek-proyek besar milik negara di masa mendatang.
Di salah satu sudut kota, seorang wanita berusia hampir 50 tahun juga mendengar kabar ini langsung dari teman dekatnya yakni sang pemilik “Rumah Tropis Terbaik di Dunia” tersebut. Ia segera mengundang Ana ke rumahnya, membicarakan rencana renovasi rumah tua milik keluarganya.
Ana terkesiap saat mobilnya masuk ke pekarangan. Rumah tua itu tampak cantik khas bangunan masa penjajahan Belanda. Pemilik rumah tersebut pastilah pejabat tinggi negara kala itu. Sementara Hesty—wanita berusia 50 tahun yang mengundang Ana—menyambut hangat kedatangan Ana di depan pintu.
Hesty memang pelanggan yang baik. Permintaannya pada Ana untuk merenovasi rumah tua tersebut tidak rumit bahkan cenderung sederhana. Hesty menyerahkan sepenuhnya pada tangan Ana untuk mengembalikan nilai estetika rumah tersebut tanpa menghilangkan sedikitpun kenangan di dalamnya. Mendengar permintaan tersebut, tentu saja Ana merasa profesionalitasnya diuji. Demi hasil renovasi terbaik, Ana meminta Hesty menceritakan detail kenangan di setiap ruang dan sudut rumah tua tersebut.
Adapun melakukan hal tersebut menyita waktu Hesty dan Ana hingga 3 hari 3 malam. Jelas sudah alur yang digunakan Tere Liye dalam novel ini adalah alur maju-mundur. Jika hari ini mereka kehabisan waktu untuk berkeliling rumah sambil menceritakan kenangan di dalamnya, mereka akan membuat janji temu esok hari. Nah, novel ini hakikatnya berisi rekaman ingatan Hesty. Sementara itu, hampir seluruh sudut dan ruangan dipenuhi dengan kenangan Hesty terhadap Tigor, anak pembantu rumah tangga mereka kala itu. Jadilah kehadiran Ana di sini tak hanya sebagai kontraktor yang merenovasi rumah pelanggannya, tapi juga mengembalikan seluruh kenangan yang telah dikubur bertahun-tahun lamanya.
Cerita dimulai dari halaman belakang rumah. Terdapat bangunan tambahan yang dulu digunakan sebagai tempat tinggal para pembantu. Meski Ana menilai bangunan itu sebagai sesuatu yang merusak estetika rumah dan berinisiatif untuk merobohkannya, Hesty malah menolak mentah-mentah ide tersebut, sebab bangunan itu adalah tempat Hesty dan Tigor bermain sejak kecil hingga beranjak remaja. Hesty bahkan menceritakan dengan detail momen Tigor yang menyelamatkannya dari ular besar kala mereka masih berusia 12 tahun. Momen yang membuat Hesty percaya bahwa Tigor akan selalu melindunginya di manapun dan kapanpun.
Benar saja. Hesty dan Tigor menjadi teman baik meski sering kali tingkah mereka dinilai buruk oleh Ayah Hesty, Raden Wijaya. Beliau adalah seorang pejabat tinggi negara yang memiliki darah biru alias lahir dari keluarga ningrat terhormat. Baginya, pertemanan Hesty dengan anak seorang pembantu merupakan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Raden Wijaya khawatir pertemanan ini berubah menjadi cinta saat mereka dewasa.
Sebenarnya, insting Raden Wijaya tidak salah. Seluruh anggota keluarga baik Mama Hesty dan dua kakaknya juga sudah menduga bahwa hubungan Hesty dan Tigor kelak tidak hanya sekadar teman.
Bayangkan saja, Hesty dan Tigor sudah berteman sejak hari pertama mereka lahir ke dunia. Entah kebetulan atau dapat disebut takdir, mereka memang lahir di hari dan waktu yang sama. Hal ini membuat Bi Ida alias Ibu Tigor harus mengasuh keduanya berbarengan karena Mama Hesty yang super sibuk dengan pekerjaannya sebagai wartawan.
Ketika mereka duduk di sekolah dasar, Hesty dan Tigor nakalnya minta ampun. Hampir setiap hari mereka pergi keluyuran sepulang sekolah mengendarai sepeda butut Tigor. Salah satu momen paling seru bagi Hesty adalah saat mereka bermain layang-layang. Layang-layang besar berwarna hitam milik mereka berhasil merobohkan pertahanan layang-layang lain di sebuah lapangan besar. Bahkan lucunya, stasiun teve tempat Mama Hesty bekerja juga sempat meliput kehebatan layang-layang tersebut. Untungnya kamera tidak sempat menangkap wajah pemilik layang-layang hitam itu yakni Hesty dan Tigor, sehingga Mama Hesty tidak menyadari hal tersebut.
Seiring usia mereka bertambah, Hesty harus melanjutkan pendidikan ke SMP elit tempat kakak-kakaknya bersekolah dulu. Sementara Tigor kala itu diam-diam juga mendaftarkan diri di sekolah tersebut. Bi Ida dan suaminya cukup marah karena mendengar kabar Tigor yang lulus, sementara mereka tidak punya cukup uang untuk membayar SPP tiap bulan.
Hesty yang mendengar kabar ini bernegosiasi dengan kedua orang tuanya agar Tigor dapat dibiayai. Sudah menduga apa jawabannya? Benar. Sekolah Tigor dibiayai oleh Raden Wijaya. Meski lagi-lagi, kekhawatiran Raden Wijaya semakin kuat karena itu artinya, Hesty akan semakin akrab dengan Tigor dan jadwal keluyuran mereka pasti akan semakin sering.
Sungguh tidak ada yang salah dari dugaan Raden Wijaya. Semakin Hesty dan Tigor beranjak dewasa, kedekatan mereka memang semakin menjadi-jadi. Tingkah mereka semakin beragam, kenakalan demi kenakalan juga datang silih berganti. Sebenarnya semua kenakalan tersebut tergolong wajar untuk anak seusia mereka.
Namun suatu hari, Hesty memaksa Tigor untuk menemaninya masuk ke ruang kerja Raden Wijaya untuk mengambil kamera Minolta Maxxum 7000. Kamera canggih pada zaman itu yang akan mereka gunakan untuk mengambil foto arak-arakan pengantin sunat yang lewat di depan rumah. Naasnya, Tigor tidak sengaja menyenggol botol tinta yang tutupnya tidak rapat, membuat beberapa lembar kertas di atas meja ternodai tinta tersebut. Lebih naas lagi adalah kertas-kertas tersebut merupakan berkas penting proyek besar yang dikepalai oleh Raden Wijaya, yang harus diserahkan pada presiden.
Saat menceritakan bagian ini, Hesty dan Ana sedang berada di ruang kerja Raden Wijaya. Ruangan itu adalah salah satu ruangan paling penuh di antara ruangan lain. Ada foto besar keluarga mereka dipajang di salah satu sisi, meja-meja dan barang-barang yang entah apa gunanya, serta lemari tempat kamera Minolta Maxxum 7000 itu disimpan.
Hesty menyebut bahwa peristiwa itu menjadi salah satu puncak amarah Raden Wijaya. Presiden marah dan menurunkan posisinya menjadi gubernur daerah yang cukup jauh dari Jakarta. Keluarga mereka terpaksa pindah. Hanya anak pertama yang tetap tinggal di rumah tua tersebut karena kuliahnya tidak bisa dipindahkan.
Kisah ini amat sederhana. Seperti kalimat pembuka resensi ini, adegan-adegan yang disajikan seperti dalam sinetron FTV. Apalagi ketika memasuki masa-masa Hesty dan Tigor yang duduk di bangku SMA. Mereka saling bertukar kabar lewat surat, hingga pak pos sering kali menggoda Tigor yang tiap selasa sore menunggunya di depan pagar. Meski tingkah mereka yang satu ini sempat diketahui oleh Raden Wijaya, mereka tetap tidak menyerah. Hesty meminta Tigor mengirimkan surat ke alamat rumah teman sebangkunya.
Memasuki fase hidup sebagai mahasiswa, kedekatan mereka tidak kunjung melonggar. Hesty dan Tigor tetap akrab bahkan terus melanjutkan jadwal keluyuran mereka. Iya, Hesty telah kembali ke Jakarta, tinggal di rumah tua tersebut. Raden Wijaya semakin resah meski tak bisa berbuat banyak karena kesibukan yang kian bertambah sebagai menteri kala itu.
Hampir seluruh fase hidup mereka lewati bersama. Rintangan demi rintangan—alias Raden Wijaya yang terus mencari cara untuk memisahkan keduanya—berhasil mereka hadapi. Memasuki usia 25 tahun, mereka menyadari bahwa hubungan mereka tak hanya sekadar teman. Tigor melamar Hesty di depan rumah yang tengah ia bangun. Bagian ini membuat saya berteriak histeris karena kecanggungan Tigor untuk mengajak Hesty menikah. Jelas saja, 25 tahun lamanya mereka akrab tak terpisahkan tapi tidak pernah ada kalimat cinta yang terselip di antara keduanya. Ini adalah momen paling menggemaskan!
Namun apa yang paling menakutkan saat membaca sebuah novel? Ya, benar! Ketika bagian menyenangkan ditemukan di tengah-tengah cerita. Saya menahan nafas karena tahu akan ada hal menyesakkan yang akan terjadi di halaman berikutnya. Lagi-lagi meski kisah ini mirip-mirip dengan sinetron FTV, Tere Liye berhasil membungkusnya dengan bahasa yang mampu melarutkan emosi.
Benar saja. Raden Wijaya tidak merestui hubungan mereka dan menghalalkan segala cara untuk memisahkan keduanya. Rencana demi rencana yang disusun oleh Raden Wijaya kini serius sekali. Meski Mama Hesty dan kedua kakaknya kerap mendukung hubungan Hesty dan Tigor dengan membantu memburu restu Raden Wijaya, hal itu tetap tidak berhasil.
Raden Wijaya membawa prinsip “Anakku harus menikah dengan darah biru” hingga ajal menjemput. Pada ending nanti, Tere Liye membungkus alasan ini seperti sebuah klarifikasi di mana Raden Wijaya memiliki luka masa kecil karena lahir dari istri kedua. Ibunya dianggap sebagai wanita penggoda bangsawan yang saat itu memang ayahnya sendiri. Hal ini membuat dendam tumbuh di hati Raden Wijaya. Tekadnya sangat bulat untuk menciptakan keluarga berdarah biru dan terhormat, meskipun harus mengorbankan kebebasan anak-anaknya dalam menentukan pilihan hidup masing-masing.
Permintaan terakhir Raden Wijaya juga saya nilai sebagai tindakan paling gila dalam novel ini. Beliau meminta Mama Hesty untuk mengirimkan surat berisi kabar bohong bahwa Hesty telah menikah. Ke mana surat ini ditujukan? Ke sebuah pulau terpencil tempat Tigor kabur untuk menenangkan diri dari rumitnya perburuan restu Raden Wijaya. Surat ini mengatasnamakan Hesty. Sudah dipastikan saya menangis tersedu-sedu karena tahu bahwa surat tersebut bohong sementara hati Tigor tertusuk parah, berlari kencang menuju pelabuhan untuk kembali ke Jakarta.
Kesalahpahaman menjadi konflik terberat dalam kisah ini. Belasan tahun Hesty dan Tigor mengasingkan diri dan saling menemukan dalam keadaan salah paham. Tigor yang menyangka Hesty telah menikah lalu memutuskan untuk pergi menghilang tak pernah ditemukan, sementara Hesty juga mendapati Tigor berjalan keluar dari pintu bandara bersama seorang wanita dan anak kecil di sampingnya. Seluruh kesalahpahaman ini menjadi bumbu yang mengigit-gigit hati saya tiap kali membacanya.
Hesty dan Tigor tidak pernah menikah sepanjang sisa hidup mereka. Sakit sekali rasanya dada saya saat menyadari hal ini. Bagaimana dengan Ana? Apakah ia hadir hanya untuk membuka kenangan panjang ini saja? Tentuk tidak. Analah sosok terpenting dalam cerita ini. Ia mempertemukan Hesty dengan Tigor kembali setelah rumah berhasil direnovasi. Bagaimana caranya? Entahlah. Kalian dapat menemukannya jika membaca novel ini hingga tuntas. Saya sendiri bahkan tidak tahu harus berbahagia atau bersedih dengan ending novel ini.